Siang
itu matahari terasa lebih terik dari biasanya. Tapi aku tak perduli. Aku masih
setia menantimu di tempat biasa---tempat di mana kau akan menjemputku, kemudian
bercumbu. Sudah hampir dua tahun kita bersama dan aku tak pernah bisa
menerjemahkan hubungan ini dengan
kata-kata. Tubuh kita yang lebih banyak berbicara tentang surga yang dipenuhi
bunga-bunga.
Kau
datang lebih cepat dari yang kuduga. Membawa seikat bunga lili putih,
kesukaanku. Rasanya kau begitu berbeda. Pertemuan di siang hari ini juga tak
biasa. Karena kita terbiasa bertemu saat matahari tak lagi membentuk bayangan.
Saat kelelawar mulai membentangkan sayap, mencari makan untuk bertahan
hidup---seperti juga diriku.
“Sudah
lamakah menunggu?” tanyamu manis, sambil memeluk pinggangku, hingga tubuh kita
semakin mendekat. Bibirmu mencium keningku dengan lembut. Aku hanya tersenyum,
lalu kita berjalan menuju ruangan---tempat biasa kita memadu kasih.
Cinta
dan napsu hanya dipisahkan sebuah dinding tak kasat mata, yang tidak dapat lagi
kubedakan saat ini. Tubuh kita berpacu bersama denyut jantung yang semakin
kencang berdetak. Semakin lama makin menyatu hingga kita lelah dalam desah. Kau
memeluk tubuhku yang bermandikan peluh. Napasmu terasa hangat di telingaku.
“Sudah
berapa lama kita begini, sayang?” bisikmu tiba-tiba di memecah keheningan kita
yang kelelahan.
“Hmmm…mungkin
dua tahun, kenapa?” jawabku dengan sebuah pertanyaan lagi.
Ada ketakutan yang tiba-tiba hadir dalam relung hatiku dan kemudian menimbulkan tanda tanya yang bertubi-tubi di alam pikiranku. Apakah kamu mulai bosan? Apakah aku sudah tidak bisa memuaskanmu lagi?
Sepertinya
kamu tau apa yang ada di dalam pikiranku. Kamu memelukku lebih erat, sangat
erat hingga aku agak sulit bernapas. Bibirmu menempel di telingaku. Dan kau
berbisik dengan mesra.
“Aku
ingin memilikimu seutuhnya”
“Menikahlah
denganku, Irina?” ucapmu pelan, seakan angin surga sedang berhembus lembut
menyentuh tubuhku. Saat itu rasanya aku ingin memelukmu dan tak kulepaskan
lagi. Sudah ribuan kali kata-kata itu hadir dalam mimpiku, dan entah berapa
ribu kali kata-kata itu bermain-main dalam anganan inginku.
Tapi
tidak, aku melepaskan diri dari pelukmu. Mengenakan kembali pakaianku yang tadi
berserakan di lantai karena napsu yang memburu dan tak tertahankan lagi. Aku
tersenyum padamu, menciummu lembut dari pinggir ranjang. Ciuman yang mungkin
akan kau kenang.
“Sorry
honey, it’s just to good to be truth, but thank you,” ucapku tenang.
“Aku
hanya milikmu saat kau membayarku, ini sudah dua jam dan waktu kita sudah
habis!” lanjutku lagi sambil menantimu memberikan uang bayaran atas jasaku
memuaskanmu di atas ranjang.
Setitik
bening, tergenang di ujung mata. Aku segera menghapusnya. Aku tak boleh jatuh cinta. Tidak, aku tidak bisa jatuh cinta
kepadamu.
(AM)
Hello there :)
BalasHapusHello bang...:) apkabar lama tak menyapa? :)
BalasHapus