Aku
menghitung pertemuan dari tiap waktumu yang tersisa. Karena jarak yang
terbentang membuat kita jadi lebih pandai matematika. Dari ribuan kilometer
yang terentang, ada doa-doa yang kusematkan untukmu. Setiap jam, setiap menit,
setiap detik, hingga aku lelah dan tertidur dalam buaian rindu.
Saat
malam tiba, aku harus bersabar menanti fajar. Gelap, begitu menyiksaku dengan
nyanyian sunyi dan belati sepi. Tapi pagi dan secangkir kopi ternyata lebih
menyiksa, karena hanya bisa kunikmati sendiri. Lalu matahari, membawa kerinduan
lebih cepat dan menyengat. Tak ada yang bisa membuatku terlepas dari siksaan
ini selain pelukan darimu yang paling hangat. Namun aku selalu kalah; jarak dan
waktu memelukmu lebih erat.
“Berterima
kasihlah pada jarak dan waktu, karena dari merekalah kita belajar memeluk rindu,”katamu
waktu itu.
“Tapi
ini menyiksaku,”ujarku lirih.
“Bersabarlah
sedikit, ini kulakukan demi untukmu.”
Aku
selalu kehilangan kata-kata tiap kali kau katakan demi aku, demi kita, demi
masa depan yang penuh angan-angan.
“Aku
hanya takut jutaan jarum jam bisa mengikis cintamu lalu melayang dan hilang.
Aku hanya tak ingin ribuan jarak mencipta praduga hingga kita tak lagi saling percaya.
Aku hanya tak ingin kehilanganmu, itu saja!”
“Sudahlah
sayang, jangan terlalu khawatir. Aku takkan memilihmu jika aku tak cinta. Tapi
dari awal kau sudah tahu keadaanku, Aku hanya tak ingin terjadi masalah.”
“Iya,
aku mengerti. Aku pun tak ingin ada yang terluka.”
“Hmmm…sayang,
ibunya anak-anak sudah bangun, nanti ku telepon lagi saat aku sampai kantor, ok
byee!”ujarmu buru-buru, lalu tut…tut…tut.
Kau
sudah mengakhiri pembicaraan. Aku bahkan belum sempat mengucapkan salam dan memberikan kecupan. Ah,
aku terkadang lupa. Selain jarak dan waktu masih ada Rindu, istrimu yang membuatku
cemburu dan tak bisa sepenuhnya
memelukmu. Kau seperti bintang begitu indah namun begitu jauh dan sulit untuk
kumiliki.
(AM)
#30HariLagukuBercerita
*Terinspirasi dari lagu Dancing On My Own-Pixie Lott Feat GD&TOP
Kau
tertunduk dalam kebisuan saat kita duduk berhadapan. Hampir dua puluh enam
bulan kita berpisah kau masih saja terlihat tampan untukku. Tak ada yang
berubah selain wajahmu kini di tumbuhi bulu-bulu halus yang justru makin membuatmu
kelihatan manis.
Dua
tahun kebersamaan kita harus berakhir saat kau memilih menerima pernikahan yang
diatur orang tuamu. Saat itu aku hanya bisa menerima tanpa berkata-kata
apa-apa. Hatiku hancur, butuh waktu setahun untuk aku melupakan segala tentang
kita.
Tiba-tiba
kau hadir kembali. Di kita biasa menghabiskan masa-masa bahagia kita akhirnya
kita bertemu kembali.
“Apa
kabar Aldi?” tanyaku membuka percakapan.
“Aku
rindu padamu,” jawabmu gugup.
Aku
hanya bisa membalasmu dengan senyum. Terlalu banyak cerita yang telah kita
lewati. Tapi semua itu telah kukubur dalam masa lalu.
“Apakah
kau tak rindu aku, sudahkah kau melupakanku?” tanyamu penuh rasa penasaran.
“Aku
pernah merindukanmu tapi sekarang tidak lagi,” jawabku singkat.
“Tapi
aku tak pernah berhenti melupakanmu, sayang.”
“Aku
tak ingin mengingatmu lagi.”
“Kenapa?
Apa kau masih membenciku karena meninggalkanmu,” tanyamu putus asa.
“Bukan
Aldi, karena saat ini aku sudah mempunyai istri. Kau hanya bagian masa lalu
yang harus kulupakan. Aku tak mau keluargaku tahu bahwa aku pernah mencintai
seorang pria.” Jawabku terus terang. Lalu segera meninggalkannya. Meninggalkan masa
laluku yang hitam.
Di
dada kirimu saja bukan yang kanan. Bukan untukku bersandar, tapi untuk
kurapatkan telinga. Aku ingin mendengar degup jantungmu. Sungguh, aku enggan menjauh,
dari hati di balik dada itu.
Kata-kata
itu berulang kali bermain di kepalaku. Sepotong kalimat kau hembuskan bersama
hela napasmu yang sangat berjarak. Suaramu berbisik, mengelitik imaji untuk
menari. Bagaikan mantra yang menyeruak, merasuk ke dalam dada, lalu kau menjadi
candu yang membuatku rindu.
Saat
langit melukiskan cinta pada senja, kita bercinta dengan kata-kata. Mencumbui
jiwa tanpa sua, hanya lewat suara yang kuyakini berasal dari surga. Dan kurasa
aku mulai gila Karena, pada kamar sempit tempat biasa kubersembunyi bersama
kesunyian, menjadi penuh sesak dalam kegaduhan. Kau isi tiap sudut-sudutruang ini dengan parasmu yang ku ukir tanpa
batas. “Ah, apakah ini pertanda bahwa
cinta mulai meretas?”
Menerjemahkanmu
bagai menemukan dunia yang baru, dunia yang selama ini kuhindari. Aku mulai
ketakutan. Keberanianku berlarian, tapi aku tak menemukan jalan untuk melarikan
diri dari pelukan hangat jiwamu. Kau seperti mempunyai kompas untuk mencari dan
menuntunku kembali.
********
“Apakah
mungkin kita saling mencinta?” tanyaku, di suatu malam merah jambu.
“Kenapa
tidak?”
“Kita
belum pernah bertemu, kau belum melihatku begitupun aku.”
“Apakah
kau takut perasaanmu berubah saat kau melihatku?”
“Tidak,
aku justru takut kau yang berubah saat melihatku.”
Dan
kau malah tertawa. Tawamu yang renyah makin membuatku resah. Hatiku enggan
terluka. Telah banyak duka yang kulewati hingga aku jadi pengecut dalam cinta.
“Apakah
kau takut terluka?” tanyamu tiba-tiba seakan membaca apa yang kurasa.
“Aku
hanya tak ingin kau kecewa.”
“Kenapa?”
“Karena
Aku tidak sempurna.”
Dan
kau terdiam cukup lama. Membuatku makin menderita dalam praduga. Sekejap,
rasanya aku ingin merengkuhmu lewat hela udara sebelum pena hati ini terpatah
tanpa sempat meyeka peluh merindu. Tapi tidak, aku hanya menunggu, hingga
suaramu kembali bergema di telingaku.
“Apa
kau menginginkan aku yang sempurna?” tanyamu dengan suara yang sedikit berbeda.
“Tidak,
tentu saja tidak!”
“Lalu,
untuk apa kau jadi sempurna jika akupun tidak?”
Kali
ini aku terdiam. Kupandangi paras yang memantul dari cermin di hadapanku. Tak
ada yang berubah tetap sama. Hanya ibuku yang mengatakan aku tampan yang lain
memandangku mengerikan bahkan cermin pun berkata demikian. Aku bahkan tak
berani memandang matahari apalagi memandangmu. Aku takut kau kecewa lalu meninggalkanku
dalam luka. “Maaf jika aku jadi pengecut.
Ketika hadirmu menghiasi sepi malam, jiwa ini belum jua merasa pantas.” Aku
memilih lari dan bersembunyi.
********
Pada
mata tertutup aku ingin melihat bukan jasad, bukan nama, namun hati di balik
dadamu yang setia mendengar, berbicara pada jiwa terkasih dan ini sungguh
indah.
Lagi,
anak panah kata-katamu telah menembus tepat ke jantungku. Membuatku tak berdaya
untuk terus bersembunyi. Sejauh mana kuberlari secepat itu pun kau menemukan
jejakku untuk menarikku kembali. Aku menyerah pada cinta yang kau sebarkan
lewat udara.
Lalu
aku di sini. Di suatu senja yang kita janjikan bersama. Bertemu untuk pertama
kalinya. Membutuhkan keberanian seribu orang prajurit yang rela mati di medan
perang untuk bisa berhadapan denganmu. Tak habis kuhapus gemuruh ombak dalam
dadaku saat kulihat wujudmu yang selama ini hanya tercipta dalam angan.
Kau
duduk diam di situ dan menunggu. Kepalamu yang sedikit menunduk membuat
rambutmu tergerai dari bahu. Kau terlihat teramat indah, bahkan terlalu indah
untukku. Aku jadi sedikit ragu. Keberanianku melayang pergi, ketakutanku
semakin menjadi. Seribu prajurit tak lagi mampu membunuh jiwa pengecut yang
menguasai diriku. Aku memilih menyerah sebelum berperang. “Ah, ternyata jatuh cinta bisa begitu menakutkan.”
Namun
kau masih saja duduk di situ hingga senja beranjak pergi. Setia menanti diriku
yang lebih takut patah hati dari pada mati. Kau begitu setia pada janji, pada
kita. Kau jadi semakin indah teramat indah. Jiwamu memancarkan keindahan yang
menarikku semakin dekat kepadamu. Hingga tanpa aku sadari aku telah berdiri
tepat di hadapanmu.
“Rara?
Dirimu Rara bukan?” sapaku terbata.
“Maaf,
aku telah membuatmu menunggu,” lanjutku.
Kau
sedikit tersentak dengan sapaku yang tiba-tiba. Namun kau masih saja menunduk. Tubuhmu
sedikit gemetar, sepertinya kau sama gugupnya dengan diriku. Aku jadi khawatir
kau akan berlari saat melihatku. Tiba-tiba kau berdiri, lalu mengulurkan
tanganmu.
“Hai
Faisal, aku Rara dan aku buta, tapi aku punya cinta,” sapamu tiba-tiba yang
mengejutkanku.
“Apakah
kau kecewa karena ternyata aku tidak sempurna?”
Tanyamu
membangunkanku dari keterpanaan yang membuatku sempat terpaku diam tanpa kata.
Aku tersadar, seharusnya itu jadi pertanyaan yang kutanyakan padamu juga.
Kecemasanku lalu menguap, karena kutahu kau takkan berubah. Cinta memang
telah dikirim untukku langsung dari surga.
“Ahh..Ajaib,
bagaimana Tuhan menciptakan cinta diantara kita, dua orang yang tak sempurna
untuk saling menyempurnakan satu sama lain.” jawabku sambil menggandeng
tanganmu.
“Yes
baby, coz love is blind,” ujarmu dan kita pun tertawa menyambut datangnya cinta.
Ketika kamu aku melebur menjadi
SATU dan hanya waktu yang mungkin bisa memahami apa yang sedang terjadi. Apa
yang sedang kurasa, apa yang sedang kau rasa adalah cinta yang tak bisa
dijelaskan dengan kata-kata
Engkau
masih terdiam, menyusuri jalan-jalan di depan dengan matamu. Anak-anak rambutmu
menari bersama angin yang menyeruak masuk dari kaca mobil yang sengaja kau
buka. Tepat 1460 hari, 5 jam, 48 menit, 45,1814 detik kita telah merangkai
sebuah kenangan dalam ingatan. Dan kita merayakannya dalam diam, dengan seribu
tanya yang terus berkecamuk dalam hatiku, “Masihkah
kau ingat tentang cinta?Tentang kita? Tentang Aku?”
Musim
berganti terlalu cepat, secepat kenangan yang berguguran dalam ingatan. Empat
tahun yang lalu kita dipertemukan takdir. Seribu alasan membuatku terikat
padamu, setiap gerak tubuhmu adalah cinta bahkan diammu pun membuatku rindu.
Seperti saat ini, diammu membuatku menunggu dalam kecemasan, “Masih adakah yang tertinggal dalam
kenangan?”
Hujan
membawa kenangan luruh ke pangkuan. Setahun yang lalu di tempat yang sama, kita
terdiam menyambut luka. Kau terus menatap wajahku dengan embun di matamu.
Senyummu menghilang ditelan awan kelabu yang menggelayut manja di pundakmu.
“Apa
yang kau lihat sayang?” tanyaku memecah kebekuan.
“Wajahmu,
aku ingin melukisnya dalam ingatan. Aku tak ingin melupakanmu,” jawabmu dengan
suara tertahan.
“Aku
akan menjadi ingatan yang mengingatkanmu saat kau terlupa, sayang.”
Tanganku
menggenggam erat jemarimu yang dingin. Badanmu bergetar saat airmata luruh
bagai musim penghujan yang datang tiba-tiba. Isakmu tenggelam dalam pelukan.
Kita merayakan musim cinta dengan airmata.
Kau
masih cantik meski terlihat dingin dalam kediaman yang beku. Matamu masih lurus
ke depan hanya sesekali melirik ke arahku dengan tatapan penuh tanya. Tak ada
lagi pelukan hangat, kecupan-kecupan mesra dan ciuman-ciuman liar yang membuat
tubuh kita diselimuti peluh. Tak ada lagi suara manjamu memanggil namaku saat
pendakian cinta kita telah mencapai puncaknya. Saat ini, tubuh kita hanya
sedepa namun terpisah jarak ribuan tahun cahaya dalam ingatan.
Mataku
mulai basah. Genangan-genangan rindu di pelupuk tak lagi mampu kutahan. Semua mengalir
deras, membasahi pipi yang dulu selalu kau kecup dengan penuh kehangatan.
“Mengapa
ada hujan di matamu?”
“Karena
aku rindu. Merindukan senyummu yang berpelangi.”
Dan kau pun tersenyum. Tubuhku tersentak,
seakan terbangun dari mimpi buruk yang panjang. Baru saja tadi aku melihatmu
tersenyum penuh cinta. Cinta yang serupa pertama jumpa. Lalu waktu, seakan
berhenti bergerak dalam sesaat. “Ingatlah
aku sayang, ingatlah aku, sekali lagi saja.”
Hanya
sekejap, bunga-bunga tidurku mendadak lenyap. Kau menatapku dengan penuh
kebingungan. Seakan seribu pertanyaan menyerbu benakmu. Raut wajahmu
menyiratkan kecemasan, hingga akhirnya kau bertanya,
“Maaf,
siapa tadi namamu?”
Kosong,
hanya desah yang lirih dan nyaris tenggelam dalam kesunyian yang bisa kujawab. Baru
satu tahun yang lalu kita menangisi vonis dokter. Rupanya, Alzheimer sialan itu telah menyapu bersih tiap sudut-sudut ruang ingatanmu
hingga tak lagi tersisa satupun kenangan. Meninggalkan diriku tanpa sebuah kata
ataupun ciuman perpisahan.
Gerimis
tak pernah habis membasuh jalan-jalan luka yang kita tinggalkan. Lampu-lampu
jalan terlewati satu persatu hingga cahayanya redup ditelan jarak. Kenangan
yang terserak di jalan ini takkan lagi mampu mengembalikan kita, meski dalam
angan. Dan aku, hanya akan menjadi ingatan yang terlupakan.