SELAMAT MENYELAMI HATI

Rebah,rapuh,terbang,apung, apa saja...

kuingin segala itu hadir dan tidak sia-sia,

seperti hadirnya kita tanpa sua.



SELAMAT MENYELAMI HATI

Rabu, 15 Agustus 2012

Untaian Melati


     Senja romantis ditemani gerimis. Jalanan makin basah oleh langkah-langkah tergesa. Saat waktu menciptakan jembatan antara kenangan dan angan, aku masih diam terpaku, menatap cermin yang memantulkan bayanganku---menghitung detik yang semakin jauh meninggalkan masa lalu. Sekali lagi, kurapikan untaian melati yang tersemat di rambutku. Malam ini, aku ingin terlihat cantik di depanmu.

     Dalam perjalanan menujumu, dadaku berdetak tak karuan. Jarak yang terentang memaksa ingatan meloncati dinding-dinding kenangan. Kita pernah melewati jalan ini sambil merangkai mimpi. Lampu-lampu jalan yang sama, menjadi saksi sebuah pelukan penuh janji.

     “Kita nikah yuk,” ajakmu tiba-tiba. Di dalam mobil---dalam perjalanan pulang sehabis menikmati satu tahun kebersamaan kita.

      “Ah, becanda kamu mas,” jawabku sambil tertawa.

     Aku menduga, kau sengaja menggodaku malam itu. Kau menatapku dalam-dalam. Tanganmu meraih jemariku, menggenggamnya erat. Kita terdiam dalam tatapan mata yang berbicara. Aku mencoba menerjemahkan tatapan matamu yang berkata tentang cinta. Sepertinya dugaanku salah, kau sama sekali tidak bercanda.

                                                                        ********

      Bunyi roda kendaraan berkejar-kejaran dengan irama detak jantung yang semakin memburu. Deru napasku kian tak menentu. Kulipat kembali kenangan bersama gerimis yang telah usai. Aku hampir sampai. Gedung tua romantis telah dihiasi janur kuning---sebagai tanda ada pesta pernikahan di sana. Semua terlihat indah, seperti yang kita pernah rencanakan dulu.

     “Di gedung ini saja yah sayang,” usulku waktu itu.

     “Tapi ini gedung tua sayang,” protesmu.

     “Tapi ini romantis, kalau sudah dihias pasti berbeda,” jelasku, sambil menarikmu masuk ke dalam gedung tua yang lebih mirip museum itu.

      Di dalam gedung, terdapat sebuah taman terbuka yang tepat berada di tengah-tengahnya. Kita bisa langsung memandang langit di sana. Saat itu, matahari telah bersembunyi ke belahan bumi lainnya. Bulan dan bintang menghias langit malam dengan sempurna. Lampu-lampu taman mulai menyala satu persatu, memantul ke setiap penjuru. Dilihat dari tengah taman, gedung itu terlihat eksotik dengan segala estetika masa lalu yang masih terjaga---menciptakan aura romantika yang menggoda. Aku yakin kau merasakan hal yang sama.

     “Bagaimana? Benarkan gedung ini terlihat romantis?”

     Kau hanya tersenyum memandangku. Tak ada kata yang keluar dari bibirmu. Kau hanya terus memandangiku dengan tatapan telaga.

      “Kamu ngga suka yah sayang? kalau ngga suka ngga apa-apa, kita bi…” belum lagi menyelesaikan kata-kataku, tiba-tiba rengkuhanmu menarikku masuk ke dalam pelukanmu. Kehangatan merasuk hingga ke jiwa. Degup jantung kita menyatu dalam irama terindah yang pernah tercipta. Kita terdiam cukup lama untuk menikmati alunannya. Hela napasmu begitu dekat di telingaku dan kau berbisik dengan mesra.

     “Di mana saja boleh sayang, selama kau yang menjadi pengantin wanitanya, di neraka pun aku bersedia.”

     Kata-katamu yang sedikit berlebihan membuatku tertawa. Kau selalu tau, bagaimana membuatku bahagia. Aku semakin menenggelamkan diri dalam pelukanmu. Kala itu, kita membahasakan cinta tanpa kata-kata. Pelukan dan kecupan-kecupan ringan di bibir menjadi cara kita berbicara tentang rasa.

                                                        ********

      Aku berdiri di bawah bunga-bunga yang terangkai indah, di payungi oleh gelisah. Tak ada lagi jalan untuk kembali. Aku telah sampai di sini---tempat kita pernah mengukir janji. Jarak kita dan masa lalu hanya tinggal sedepa. Lalu semua ini akan menjadi sejarah di kehidupan kita selanjutnya.

      Sepanjang selasar dilapisi karpet berwarna merah. Lampu-lampu taman sudah menyala dengan cahaya yang berbeda. Semua terhias indah seperti mimpi-mimpi yang pernah kita lukiskan bersama. Dan dirimu ada di sana, terlihat sangat tampan melebihi hari-hari biasa.

     Tiba-tiba semua mata tertuju kearahku. Kedatanganku membuat ruangan ini berubah jadi bisu. Hanya mata mereka yang berbicara, mungkin dengan tatapan haru. Begitu juga dirimu, yang terdiam kaku. Jantungku berdetak semakin tak beraturan. Mulutku hanya mampu memberikan senyuman. Kita saling terdiam dalam kegugupan.

     “Kamu, cantik sekali malam ini,” sapamu memecah keheningan.
 
     “Kamu juga terlihat tampan dengan jas putih ini,” ujarku gugup sambil berusaha tetap tersenyum. Kutahan mataku yang berembun. Aku takut kaca-kaca di mataku pecah dan meluruh jatuh. Kutarik napas dalam-dalam. “Inilah saatnya,” bisikku pada hati.

      “Selamat ya mas, semoga kau bahagia dengan pilihanmu,” ucapku pelan dan tertahan. Kau terdiam, namun matamu menatapku penuh dengan penyesalan.

     “Terima kasih Mela, terima kasih kamu mau datang malam ini. Maafkan aku karena…” kupotong kata-katamu dengan menggeleng. Aku menatapmu dengan lebih berani.
     “Aku ikhlas, Mas”

     Dadaku riuh bergemuruh. Ada sakit yang kusembunyikan dengan sebuah senyuman. Aku memutar kursi rodaku dengan pelan. Kecelakaan membuat aku tahu, cinta bukan untuk dimiliki tapi cukup dirasakan. Takdir memang telah merenggut segala anganan tapi tidak ingatan. Selalu ada dirimu dalam kenangan. Kuhapus setitik air di ujung mata. Hatiku mulai memainkan irama kesunyian. Tenanglah Mela, selalu ada pelangi selepas hujan.