SELAMAT MENYELAMI HATI

Rebah,rapuh,terbang,apung, apa saja...

kuingin segala itu hadir dan tidak sia-sia,

seperti hadirnya kita tanpa sua.



SELAMAT MENYELAMI HATI

Selasa, 27 Desember 2011

Loli dan Lolipop


Sebut saja Loli. Begitu biasa ia dipanggil. Tak ada yang pernah tahu nama sebenarnya. Gadis belia yang selalu duduk di bawah pohon Akasia---pada sebuah bangku kayu yang sudah lapuk dimakan usia. Entah bagaimana, gadis seperti Loli bisa tersesat di sana---sudut tergelap sebuah kota---lokalisasi ilegal, tempat melampiaskan gairah purba pria-pria pecandu cinta sesaat. Tempat di mana, surga dan neraka bersanding di atas pelaminan yang paling kelam.
Loli, begitu aku memanggilnya. Pertemuan yang tak sengaja di tempat yang tak terduga---tempat yang begitu asing buat kami. Aku bukan pria kesepian yang ingin membeli cinta. Tugasku, hanya mencari berita. Dan takdir, membawaku ke tempat di mana Loli berada. Saat itu aku melihatnya---diantara orang-orang yang mengobralkan nyawa. Keriuhan orang yang berlalu lalang, berusaha menyelamatkan diri atau mencari mati, sama sekali tidak ia perduli. Ia tetap duduk---di bangku kayu tua, sambil menikmati kembang gula warna-warni. Seakan-akan ia berada dalam dunianya sendiri. Dan aku tertarik ke dalamnya.
Rasa penasaran, membawaku kembali ke sini---untuk mencari tahu tentang dirinya. Ternyata, lebih sulit dari yang kukira. Loli tak pernah bicara---bukan tak bisa---ia hanya tak pernah lagi mengeluarkan suara. Sejak beberapa pemuda, secara paksa, memetik mahkota bunganya yang baru saja tumbuh. Ia kemudian jatuh ke tangan seorang penyamun yang menjual tubuhnya kepada laki-laki hidung belang. Hari demi hari Loli makin menutup diri. Ia tak lagi perduli dengan keadaan sekitarnya. Mereka pikir dirinya sudah gila. Ia tak mau mandi, tak mau makan. Kecuali menikmati kembang gula warna-warni yang biasa disebut lolipop. Itulah alasan mereka, memanggilnya Loli. 
Cerita tentangnya mengalir begitu deras---dari bibir pemilik warung nasi, yang berada di dekat Loli biasa duduk. Ada perasaan dingin yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku. Hati ini jadi teramat sakit. Bagaimana mungkin gadis semanis Loli bisa merasakan kepahitan yang teramat pahit. Di mana keluarganya? Tidak adakah yang pernah mencarinya? Satu persatu pertanyaan berkelebat dalam kepala, tapi tak ada yang terjawab. Tak ada yang ingat kapan Loli ada di sana, atau bagaimana dia bisa ada di sana. Di tempat seperti ini, deru napas seakan berkejaran dengan maut. Jadi, siapa yang mau perduli dengan masalah orang lain, kecuali untuk bisa mengisi perut. “Ah, Loli. Bagaimana aku harus menyusun potongan-potongan puzzle ini, jika sebagian besar potongannya, kau simpan sendiri.”
Sore itu, Ia masih duduk di sana. Memandang ke arah jalan---dengan tatapan penuh harap. Mungkin, ia menanti seseorang, atau mungkin, ia sedang mengingat-ingat jalan pulang. Entahlah, Loli menutup diri---mengurung, dalam dunianya sendiri. Aku duduk di sampingnya---bangku kayu yang sama di bawah pohon Akasia. Dari dekat wajahnya terlihat lebih cantik. Meski tubuhnya sangat kurus, tak terurus. Gurat kepedihan makin nampak nyata, saat kami tak lagi begitu berjarak. Ia masih tak perduli dengan kedatanganku, hingga aku mengeluarkan kembang gula warna-warni---berbentuk bulat pipih---dengan ukuran cukup besar. Matanya langsung berbinar---mata kanak-kanak yang polos dan manja. Usianya memang masih sangat muda. Terlalu muda untuk menanggung kepedihan sendirian. “Berbagilah padaku Loli, ceritakan perihmu!”
Aku makin sering datang. Untuk memberikan Loli sebuah kembang gula dan juga makanan. Sambil menyusun kepingan cerita---dari tiap ekspresi wajahnya, yang aku coba terjemahkan. Loli sepertinya makin terbiasa dengan kehadiranku. Sekali waktu ia memperlihatkan senyumannya---manis sekali. Aku yakin suatu saat Loli akan bercerita dan aku bisa membawanya pergi jauh dari sini.
Jalanan basah dan sedikit ada genangan. Semalam hujan sangat deras---musim telah membawa hujan datang ke kota ini. Pikiranku tak mau lepas dari Loli. Sudah hampir seminggu aku tidak menemuinya---ada liputan yang mengharuskan aku pergi ke luar kota. Terakhir kali kami bertemu, ia seperti kehilangan tenaga. Aku mengajaknya pergi ke dokter tapi ia menggelengkan kepala. Aku tak mau memaksa, aku tak ingin ia menjadi takut dan menjauh. Saat kukatakan akan pergi agak lama, ia memegang tanganku erat. Aku tersentak. Ini pertama kalinya Loli berinteraksi secara langsung denganku. Ada kesedihan dan ketakutan di matanya. Ia seperti tak ingin ditinggalkan. Lalu, aku berjanji akan kembali, tangisnya malah pecah. Ia terus menangis dan aku jadi bingung.
“Loli, ceritakanlah padaku! Adakah yang pergi dan tak kembali?” tanyaku pelan saat tangisnya mulai mereda. Tapi ia hanya diam. Yang tersisa hanya isak kecilnya sesekali. Dan saat itu semua menjadi hening.
Tadi pagi, pemilik warung nasi meneleponku---ia memang kuminta untuk menelepon jika ada sesuatu yang terjadi pada Loli. Ia mengabarkan, Loli dibawa ke rumah sakit. Ketakutanku menjadi nyata. Loli sakit. Di atas tempat tidur ia terlihat lemah. Selang infus dan oksigen terpasang di tubuhnya. Matanya tertutup, nafasnya terdengar begitu berat.
“Loli, aku kembali. Bukalah matamu sayang. Aku membawa kembang gula warna-warni kesukaanmu,” bisikku pelan dengan suara bergetar. Aku menahan diri untuk tidak menangis di hadapannya.
Matanya pelan terbuka. Ia tersenyum sambil menatapku cukup lama. Aku bisa melihat embun di matanya. Ia meraih tanganku dan di taruhnya di pipi. Seperti melepaskan kerinduan yang telah lama ia pendam. Airmatanya mengalir dan tiba-tiba ia berbicara.
“Ibu, Bella tahu ibu pasti kembali,” ujarnya terbata-bata sambil tersenyum.
Ia terus berbicara. Aku hanya diam dalam kebingungan. Aku merekam semua cerita dan mencoba menyusunnya hati-hati. Cerita terus mengalir dari bibirnya. Seperti ingin bernostalgia---ia mengungkapkan semua kerinduan. Tentang masa kecilnya---masa-masa bahagia yang telah lama ia tinggalkan. Tentang perjalanan mereka dan janji ibu kepadanya. Namun tiba-tiba ia menangis marah, tubuhnya ia hentak-hentakan. Mulutnya memaki.
“Ibu jahat! Apakah ibu tahu Bella menderita?”
“Mereka memperkosa Bella, ibu. Memaksa Bella untuk melayani laki-laki. Bella minta tolong, tapi ibu tidak pernah datang!”
Ia terus berteriak, memaki, dan menangis. Seperti gunung berapi yang tiba-tiba meletus. Loli telah lama menyimpan magma dalam hati. Saat ini ia meledakannya semua. Aku memeluk saat ia mulai terisak. Tubuhnya begitu rapuh, aku khawatir bisa membuatnya pecah, saat kupeluk terlalu erat. Dalam hati, aku berjanji, akan menemukan ibu yang selama ini ia tunggu.
Sisa-sisa air hujan masih tergenang di jalan. Dingin menyelimuti pagi ini. Tapi perjalananku masih belum selesai---menyusuri jejak-jejak masa lalunya. Aku yakin, tidak lama lagi, simpul-simpul cerita ini akan terurai. Satu per satu tempat yang ia sebutkan semalam telah aku datangi. Ada banyak cerita, dari mereka yang ternyata mengenal Loli, saat kuperlihatkan fotonya---yang diam-diam kusimpan dalam handphone. Pada akhirnya jejak itu terhenti pada satu rumah---yang dulu pernah jadi istananya. Sebuah cerita mengalir di sana. Ada haru penuh pilu saat mereka bercerita---tentang dia, tentang ibunya.
“Loli, mereka mencarimu selama ini. Ibumu tidak meninggalkanmu, ia ingin kembali dan ia benar-benar kembali. Jangan marah padanya Loli! Tunggu aku, kan kuceritakan semuanya padamu. Kau akan kembali pada keluargamu. Tunggu aku Loli…!” ucapku dalam hati. Tapi aku terlambat…
Ada senyum di langit senja saat aku kembali mengunjunginya. Seharusnya akupun tersenyum bahagia, melihatnya kembali---dalam pelukan ibu---yang telah lama ia rindukan. Tak ada lagi yang menunggu ataupun ditunggu. Mereka berdua telah sama-sama lelah dan cukup lama terpisah. Pada akhirnya mereka bisa saling bercerita tentang rindu, tentang luka, tentang takdir yang begitu menyesakan dada. 
“Loli, aku terbiasa memanggilmu dengan nama itu,” ucapku lirih. Pada kubur batu yang terukir namanya, Bella---tempat peristirahatan abadi---tepat di sebelah ibunya yang lebih dulu sampai di sini.
Pada tanah basah tempat kakiku terjejak, ada airmata yang terseka, ada senyum yang teruntai. Untuk sebuah kisah tentang pencarian. Aku kembali menyusuri jalan di mana kelam kita tinggalkan. Bangku kayu itu semakin lapuk. Pohon Akasia semakin tua. Gadis dan kembang gula warna-warni, semua hanya akan jadi kenangan yang tersisa.
“Bella…!” tiba-tiba suara keras membuyarkan lamunanku.
Seorang perempuan belia dengan wajah ketakutan berjalan cepat melewatiku. Di seberang jalan, seorang mucikari menunggunya. Dan lagi-lagi, sebuah cerita luka tercipta di tempat ini. Sampai kapan cerita ini akan berhenti? Untuk Bella, untuk Loli atau untuk anak-anak perempuan lainnya di luar sana.










(AM)