SELAMAT MENYELAMI HATI

Rebah,rapuh,terbang,apung, apa saja...

kuingin segala itu hadir dan tidak sia-sia,

seperti hadirnya kita tanpa sua.



SELAMAT MENYELAMI HATI

Kamis, 18 November 2010

SENJA ITU PANGGILANMU YANG TERAKHIR




Ini akhir ku, menunggu eksekusi mati. Bukan di tiang gantungan atau pun kursi listrik, tapi dari benda besar yang mirip binatang purba, meraung-raung siap meluluhlantak tubuh renta dan tak terurus. Tak ada yang protes atau menangisi vonis ini, aku benar-benar sendirian.
Satu-satunya sahabatku Cempaka, telah menyerah pada alam. Kemarin, petir dan hujan membantu menyudahi deritanya. Usia senja membuat tubuhnya mengering, seperti pesakitan menunggu ajal. Kini, dia terbaring kaku di sampingku.
Senja itu, delapan tahun yang lalu.  Jejak langkah anak-anak yang akan mengaji meramaikan perkampungan ini, wajah-wajah cerah mereka bermain syahdu bersama semilir angin surga yang menghembus dan menyentuh dedaunan, hingga jingga matahari tersisa di ufuk barat. Suasana masa itu menimbulkan nuansa luar biasa etik dan estetik, ditambah dengan lautan ilmu yang diselami para pemuda di malam hari seakan mengalir jernih.
Malam selalu kunantikan, aroma nafas alam menyatu dengan desah nafas  perempuan tua-perempuan tua yang berdzikir dengan genggaman biji tasbih usang,  para pemuda mengaji  menggunakan kitab yang kertasnya  menguning. Kedamaian makin terasa,  saat sepertiga malam mereka bermunajat dengan dua sujud. Duh, betapa aroma surga mengisi ruang-ruangku!
Setiap tahun beranjak dari waktunya, kehidupan mulai berubah. Kampung ini kehilangan napas,  gedung-gedung pencakar langit  seakan berlomba tumbuh,  paru-paru kota dihabisi, beruntung Cempaka masih setia meneduhkanku, meski kutau usianya mungkin tak lama lagi, karena dipaksa menjilati polusi dan limbah pabrik.
Gema  adzan kini tergantikan suara bising mesin-mesin yang tak berirama, tak ada lagi kesyahduan malam dengan bait-bait kitab suci, mereka terbuai lezatnya dunia modern, nuansa religius telah dighaibkan dari kehidupan, ilmu dunia lebih memikat meski tak tentu dalilnya, inilah era gombalisasi terbalut globalisasi.  
Tiga bulan sebelum hari ini adalah awal dari segalanya,  semua warga berkumpul, para pemegang kekuasaan kampung jadi orang-orang yang bertanggung jawab dengan keadaan yang makin berkembang. Yah kampung ini akan digusur, rencananya tanah di sini akan dibangun sebuah apartemen dan mall, sekali lagi semua bisa dibeli, yang tak punya uang silahkan gigit jari. Marah, menolak dan berontak  bagi sebagian orang itu hanya menghabiskan tenaga dan sia-sia, jadi semua setuju dalam tiga bulan ini semua harus selesai, begitu juga aku.
Setiap hari adalah siksaan. Menghitung mundur waktu seperti berkejaran dengan malaikat maut dan kita takkan pernah menang. Dari jam ke jam, menit ke menit, hingga detik berdetak pada titik penghabisan dan semua selesai. Sampai  giliranku saat matahari mulai beranjak ke peraduan dan senja yang tinggal tersisa, tiba-tiba raungan itu berhenti dan seseorang berteriak “Kenapa berhenti? ini sudah hampir Maghrib lebih baik kita selesaikan, sekarang tinggal satu lagi nih!” Orang yang diteriaki tadi berada di depanku, menatap dengan padangan simpati, bibirnya berkata ”Justru karena mau Maghrib sedangkan ini…” tanpa mampu menyelesaikan kata-kata hanya tangannya yang sedikit lunglai menujuk kearahku. “Memang kenapa dengan ini, sekarang atau besok sama saja kan? Semua harus selesai sesuai perintah, ayolah cepat! Ingat anak istri di rumah, mau makan apa? Kita kan hanya di bayar” sahut temannya. Laki-laki itu masih menatapku, namun akhirnya membalik badan dan berjalan kearah dimana hatinya tak bisa memilih.
Sayup-sayup suara panggilanMu terdengar, entah dari mana. Ya Rabb begitu syahdunya panggilanMu ini! Raungan itu memecah kesyahduan dengan tibatiba, semakin dekat dan semakin memekakan telinga, yah inilah waktuku, tak akan terdengar lagi suara adzan sang muadzin atau irama gemericik air saat orangorang mengambil wudhu, semua itu akan selesai senja ini dan aku hanya akan menjadi puingpuing yang mungkin tak terkenang karena aku, hanyalah surau tua yang telah lama ditinggalkan.



(AM) 

Sabtu, 13 November 2010

Tebing Waktu

berapa usia? 
saat matahari menciumku
perjalanan yang tak sampai pada hujan
percakapan dinding, sunyi jadi rintihan
kuhitung ulang sudutsudut tak kasat mata
diantara pucuk, ranting, batang dan batukarang

pada tebing waktu, kutancapkan asa
mendaki, merangkak, berlari dan berjalan
hingga batu pun berbisik pada angin;
"waktunya tak banyak lagi
tiap hari berkurang satu"
 

(AM)

Jumat, 05 November 2010

Bukan Cinta

Cinta bukan bayangan
diantara tangisan
dan kenangan

Cinta itu
kau dan aku

tapi tak pernah ada kita
maka ini bukan cinta

Jika cinta buta
kita akan nyata




(AM) 




 

 

Senin, 01 November 2010

Renunganku

CATATAN HATI:
            Renunganku 



Ketika kumohon kekuatan
Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat

Ketika kumohon kebijaksanaan
Allah memberiku masalah untuk kupecahkan

Ketika kumohon kesejahteraan
Allah memberiku akal untuk berfikir

Ketika kumohon keberanian
Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi

Ketika kumohon sebuah cinta
Allah memberiku kehilangan agar aku menghargai hidup

Ketika kumohon bantuan 
Allah memberiku kesempatan

Tidak semua yang kuminta bisa kudapatkan
tapi aku mendapatkan semua yang kubutuhkan

Allah yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita




(AM)