SELAMAT MENYELAMI HATI

Rebah,rapuh,terbang,apung, apa saja...

kuingin segala itu hadir dan tidak sia-sia,

seperti hadirnya kita tanpa sua.



SELAMAT MENYELAMI HATI

Selasa, 14 Desember 2010

Ikhlas untuk Lara

          Ikhlas, nama itu tertera pada gelang plastik berwarna biru yang melekat di pergelangan tangannya. Bayi laki-laki itu terlihat lemah dan tak berdaya, hanya sesekali bergerak untuk menandakan  bahwa ia masih hidup. Dan Lara memandangnya dalam-dalam dengan tatapan yang entah, mata Lara diselimuti ribuan kaca yang hampir pecah, ia masih tak percaya melihat bukti kehidupan yang benar nyata .
         Wajah Ikhlas mirip sekali dengan Rian suaminya, bahkan saat bayi itu membuka mata, Lara hampir tersentak dengan tatapannya, tatapan itu sama dengan tatapan  milik Rian, tatapan mata yang teduh, tatapan yang membuatnya jatuh cinta dan kini terluka.
         Selama sepuluh tahun lebih tatapan itu mengiringi langkah hidup Lara, jatuh cinta dan mengarungi bahtera badai rumah tangga, tatapan itu tak pernah berubah, tetap sama, teduh. Lara ingat pertama kali bertemu dengan Rian, wajahnya begitu tenang dengan tatapan wajah yang tajam, tapi saat di kenalkan kepadanya tatapan mata Rian langsung berubah tak lagi tajam namun mampu menghujam tepat ke hatinya.
          Rian bukan orang yang banyak bicara namun tatapannya  mampu bicara banyak kata dengan penuh cinta. Dulu lewat matanya Lara bisa memahami perubahan di hati Rian, namun kini Lara tak lagi yakin apakah mata teduh itu bicara jujur. Karena kini hatinya telah hancur.
         Lamunan Lara terurai oleh tangis Ikhlas yang tiba-tiba, lengkingan tangis itu merobek-robek tiap sisi hati yang tengah terluka. Tangisan itu pernah jadi impian Lara dan Rian, tersimpan dalam lipatan doa yang ia bisikan di malam-malam buta. Setiap malam, ranjang, mereka jadikan ladang harapan. Namun  benih yang ditabur,  kembali luruh menjadi serpihan-serpihan kecewa yang terus berulang.
         Tangis Lara penuh luka, saat kenyataan harus diterima.  Ia takkan pernah merasakan jadi wanita seutuhnya. Namun Rian meneduhkan hatinya  dengan ketenangan penuh cinta,  merengkuh Lara dalam pelukannya.
“Lara, kamu tetaplah wanita meski tak bisa melahirkan."
"Selamanya, hanya kaulah yang kucinta, aku takkan pernah meninggalkanmu Lara.”
Tapi itu bohong, itu dusta!! Rian kini pergi, meninggalkan Lara untuk selamanya.
         Lara tak pernah mengira lambaian tangan Rian di hari Minggu yang cerah itu, menjadi lambaian terakhir untuknya. Rian pergi tiba-tiba setelah mendapatkan telepon dari seseorang, masih ada senyum di bibirnya meski terbaca gelisah. “Nanti aku jelaskan, tunggu aku kembali sayang,” sebelum mobilnya berlalu dengan tergesa.
          Tapi Rian tak pernah kembali, Lara yang menemukannya pada sebuah ruangan gawat darurat. Kemeja putihnya berubah jadi merah bersimbah darah, wajahnya memucat, airmata menghiasi matanya.
“Lara,” suara lirih Rian memanggilnya.
Lara masih diam terpaku, kakinya terasa mati tak lagi mampu ia gerakan, otaknya  berfikir keras benarkah ini suaminya.
“Lara,” Rian kembali memanggil dengan suara makin melemah.
Lara tersadar  tangisnya pecah menggema ke penjuru sudut ruangan.
         Dia tak mampu berkata, hanya bisa terisak dan menggenggam tangan suaminya dengan hati-hati.
“Lara, maafkan aku.” 
Suaminya meminta maaf dengan napas yang tersisa. Tapi untuk apa bahkan Lara tak mengerti.
 “Sayang, Ikhlas itu untukmu,” ucap Rian dengan terbata.
Lara makin tak mengerti apa yang sebenarnya Rian ucapkan. Belum lagi Lara mampu mencerna kata-kata Rian seorang dokter datang membawa sebuah kabar.
“Bayi bapak selamat, tapi maaf ibunya sudah meninggal ketika dibawa ke sini,” wajah dokter itu menjadi pias, seputih jaket yang ia kenakan.
         Lara mematung, serupa stupa batu di dalam candi yang dingin dan pilu. Tangisnya terhenti, otaknya terus mencerna apa yang dikatakan dokter tadi. Sedikit demi sedikit potongan kalimat itu menjadi sebuah rangkaian kata PENGHIANATAN.  Dadanya penuh sesak, rongga udara seakan mengecil hingga membuatnya sulit bernapas.  
         Tangan Rian yang masih ia genggam meremasnya pelan.
“Lara, maafkan aku”. 
Sepertinya hanya itu yang bisa Rian katakan. Tapi kenapa? Itu menjadi pertanyaan yang tak pernah  Lara tanyakan, karena sebenarnya Lara tahu jawabannya. Rian menginginkan anak dan Lara tak bisa memberikan itu.
         Napas Rian makin payah, selang oksigen yang ada di hidungnya seperti tak mampu lagi membuat Rian bernapas, napasnya makin tersengal. Lara tercekat kondisi Rian yang begitu mengkhawatirkan membuatnya terlupa tentang pengkhianatan.
         Lara panik detak jantung Rian melemah, ia hendak memanggil dokter tapi tangan Rian memegangnya erat, Rian menggeleng lemah,
“tak ada waktu lagi, Lara,”  Rian mencegahnya beranjak, napasnya makin berat matanya kian tak terarah.
“Jangan tinggalkan aku sendiri. “
Lara terisak napasnya ikut sesak. Napas Rian yang satu-satu membuat tubuhnya bergetar.
“Lara,namanya Ikhlas,” ucap Rian pelan.
         Lalu semua tenang, napasnya berhenti begitu juga detak jantungnya sunyi. Hanya isak tangis Lara makin menghujan. Entah apa yang membuatnya  sangat sakit, kehilangan suami yang sangat ia cintai atau mengetahui penghianatan suaminya. Yang pasti pengkhianatan itu kini terkubur bersama tubuh tanpa ruh.
         Hingga hari ketujuh sejak kepergian Rian, airmatanya tak pernah kering. Tak ada yang ia perdulikan selain berdiam diri dan menangisi rasa sakitnya. Tentang anak itu Lara tak bisa menerima, baginya sebuah anak yang lahir dari pengkhianatan cinta Rian  tidak mungkin bisa mengurusnya.
         Ikhlas adalah bencana bagi Lara. Keinginan Rian memiliki Ikhlas malah menggiringnya pada maut, dan  membuatnya kehilangan suami yang ia cintai. Lara tak bergeming meski suara Rian yang terakhir seakan menggema di sudut hatinya.
         Lara menangis hingga lelah dan tertidur di sudut ranjangnya yang dingin. Ia bertemu suaminya di alam tanpa batas saat semuanya mungkin terjadi dan itulah mimpi. Lara tersenyum rasa rindunya pada Rian tak lagi mampu terbendung. Namun wajah Rian begitu sedih, ia menunduk dengan mata yang basah.
“Lara, bukan salah Ikhlas, ini salahku sayang,” Senyum Lara langsung hilang saat nama itu disebut.
“Tapi aku kehilanganmu karena anak itu,” ujar Lara mulai terisak.
“Dan dia kehilangan ayah ibunya saat dilahirkan,” Rian berkata dengan lembut.
“Lara, Ikhlas tidak pernah minta dilahirkan. Apalagi bisa memilih dari benih dan rahim siapa dia hadir.” Lara terdiam, rinai di matanya tak mau berhenti, kepalanya menggeleng-geleng lemah.
         Rian membelai lembut pipi Lara, matanya yang teduh memandang Lara dalam-dalam.
”Sayang, maafkan aku membuatmu begitu terluka."
"keinginan mempunyai anak membuatku jadi begitu egois dan tak berfikir panjang. Aku hanya ingin memiliki anak yang mengaliri darahku"
"tapi, cintaku padamu tak pernah berubah”, ujar Rian pelan penuh dengan cinta. 
“Lara, Ikhlas itu untukmu"
"Dia mengaliri darahku, ia akan menggantikanku untuk menjagamu"
"Tuhan mempertemukan kalian berdua karena saling membutuhkan, kau bisa jadi ibu dari anakku seperti impian kita, dan Ikhlas mendapatkan ibu yang paling baik untuknya, ini rencana Tuhan Lara” suara Rian makin menjauh dan menjauh pelukan Lara semakin hampa akhirnya hilang, lalu Lara terbangun.
         Lara masih memandangi Ikhlas yang sedang menangis. Dia datang melihat Ikhlas, mencoba berdamai dengan kepedihan. Mimpi itu menyadarkannya, Ikhlas hanyalah korban seperti juga dirinya.
“Ibu, mau mencoba menggendong?”  tanya seorang perawat mengagetkannya.
         Lara tersentak mundur, dirinya belum merasa siap untuk sedekat itu dengan Ikhlas, hatinya masih mencerna sisa-sisa luka. Belum sempat ia menolak, perawat itu sudah meletak Ikhlas ditangannya. Jantungnya berdetak kencang, hatinya terasa tak karuan. Tangis Ikhlas terhenti seketika, matanya memandang Lara lalu tiba-tiba selarik senyum menghiasi bibir Ikhlas, senyuman yang sama milik Rian. Semua luka meluruh, senyuman itu seakan penawar dari semua racun yang selama ini mengendap dalam tubuh. Lidahnya terasa begitu manis dan kristal-kristal kaca di matanya pecah jadi buliran airmata bahagia.
         Dirinya begitu terharu seperti ada semangat baru saat Ikhlas tersenyum padanya. Lara mendekap Ikhlas erat, degup jantungnya menyatu dengan degup jantung Ikhlas. Tangan Ikhlas bergerak-gerak menyentuh rambut dan pipinya. Lara takjub dengan keajaiban rasa ini, Ikhlas mampu membuatnya tersenyum.
         Rian benar, Ikhlas memang untuknya. Lara tak perlu melahirkan untuk jadi seorang ibu, karena menjadi ibu bukan hanya melahirkan, mengurus, membesarkan dan memberikannya kasih sayang dengan ikhlas adalah juga tugas seorang ibu, dan Lara punya semua itu.  Mereka akan saling menyembuhkan luka, Lara punya cinta untuk Ikhlas, karena Ikhlas untuk Lara.


(AM)

 

Rabu, 08 Desember 2010

SIMFONI KEMATIAN HATI




terkoyak langit
kesabaranku
dicabikcabik irama membakar
luka udara
memercik darah pada batu
tanpa warna dan kepedihan
nada gemuruh
 mengalun lemparkanku
pada jurang curam lebam
sulut api jiwaku
mendesiskan alamat-alamat
sungai yang mengusung kematian
aku terkapar
menanti
terkubur
pada duka abadi



(AM)


Rabu, 01 Desember 2010

PAKAIAN KESOMBONGAN

CATATAN HATI:
                           Pakaian Kesombongan



Kesombongan adalah salah satu penyakit hati dari orang-orang yang merasa dirinya “paling”. Paling cantik, paling cerdas, paling kaya, padahal kata “paling” tidak akan pernah akan ada habisnya, karena diatas langit selalu masih ada langit hingga akhir langit menuju kepada yang  PALING.

Saat pakaian kesombongan digunakan, maka cara pandang kita kepada orang lain cenderung menghina dan merendahkan, disadari atau tidak pakaian kesombongan akan menimbun kita dalam lorong menuju pintu neraka karena doadoa orang yang merasa sakit hati dan terdzolimin pasti di ijabah.

Saat seseorang berkata “aku selalu membantu dengan tulus dan ikhlas tapi tolong lakukan yang sama untukku” maka otomatis ke-ikhlasan dan ketulusannya akan gugur, karena ketulusan dan keikhlasan tidak mengharapkan apapun, justru dengan mengungkapkan segala hal yang kita pernah lakukan untuk orang lain secara langsung juga kita mengatakan kesombongan diri kita, apalagi jika kita merasa setiap orang yang kita bantu mempunyai hutang budi yang harus dibayar dengan segala bentuk penghormatan pada diri kita, semua hal di dunia ini tidak ada satupun yang milik kita, hanya pinjaman dan titipan, jika ada sebagian rejeki orang lain yang dititipkan Allah melalui kita tandanya bukan diri kita yang berjasa pada mereka tapi itu semua atas kehendak Allah.

Jika dirimu merasa bahwa ; atas apa yang telah kuberikan maka dirimu harus tunduk kepadaku, bahwa aku boleh sesuka hatiku mengatakan apapun kepadamu, aku boleh menyakiti hatimu, aku boleh menghinamu, aku boleh menginjak-injak harga dirimu, maka bersiap-siaplah karena atas apa-apa yang kau punya adalah milik Allah maka Allah berhak untuk melakukan apapun atas dirimu, Karena Allah paling membenci orang yang sombong.

Padahal kalau mau bercermin, apa sih yang kau punya??
Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadist  “Di dalam tubuhmu ada segumpal daging, yang apabila ia baik, maka akan baik pula jasadmu, dan apabila dia buruk, maka akan buruk pula jasadmu (Moral), segumpal daging itu adalah Hati.”

Aku bintang paling tinggi diangkasa
Namun,
Di langit kulihat langit
Lalu aku kerdil
Aku kecil
Aku hanya sementara