Di
dada kirimu saja bukan yang kanan. Bukan untukku bersandar, tapi untuk
kurapatkan telinga. Aku ingin mendengar degup jantungmu. Sungguh, aku enggan menjauh,
dari hati di balik dada itu.
Kata-kata
itu berulang kali bermain di kepalaku. Sepotong kalimat kau hembuskan bersama
hela napasmu yang sangat berjarak. Suaramu berbisik, mengelitik imaji untuk
menari. Bagaikan mantra yang menyeruak, merasuk ke dalam dada, lalu kau menjadi
candu yang membuatku rindu.
Saat
langit melukiskan cinta pada senja, kita bercinta dengan kata-kata. Mencumbui
jiwa tanpa sua, hanya lewat suara yang kuyakini berasal dari surga. Dan kurasa
aku mulai gila Karena, pada kamar sempit tempat biasa kubersembunyi bersama
kesunyian, menjadi penuh sesak dalam kegaduhan. Kau isi tiap sudut-sudut ruang ini dengan parasmu yang ku ukir tanpa
batas. “Ah, apakah ini pertanda bahwa
cinta mulai meretas?”
Menerjemahkanmu
bagai menemukan dunia yang baru, dunia yang selama ini kuhindari. Aku mulai
ketakutan. Keberanianku berlarian, tapi aku tak menemukan jalan untuk melarikan
diri dari pelukan hangat jiwamu. Kau seperti mempunyai kompas untuk mencari dan
menuntunku kembali.
********
“Apakah
mungkin kita saling mencinta?” tanyaku, di suatu malam merah jambu.
“Kenapa
tidak?”
“Kita
belum pernah bertemu, kau belum melihatku begitupun aku.”
“Apakah
kau takut perasaanmu berubah saat kau melihatku?”
“Tidak,
aku justru takut kau yang berubah saat melihatku.”
Dan
kau malah tertawa. Tawamu yang renyah makin membuatku resah. Hatiku enggan
terluka. Telah banyak duka yang kulewati hingga aku jadi pengecut dalam cinta.
“Apakah
kau takut terluka?” tanyamu tiba-tiba seakan membaca apa yang kurasa.
“Aku
hanya tak ingin kau kecewa.”
“Kenapa?”
“Karena
Aku tidak sempurna.”
Dan
kau terdiam cukup lama. Membuatku makin menderita dalam praduga. Sekejap,
rasanya aku ingin merengkuhmu lewat hela udara sebelum pena hati ini terpatah
tanpa sempat meyeka peluh merindu. Tapi tidak, aku hanya menunggu, hingga
suaramu kembali bergema di telingaku.
“Apa
kau menginginkan aku yang sempurna?” tanyamu dengan suara yang sedikit berbeda.
“Tidak,
tentu saja tidak!”
“Lalu,
untuk apa kau jadi sempurna jika akupun tidak?”
Kali
ini aku terdiam. Kupandangi paras yang memantul dari cermin di hadapanku. Tak
ada yang berubah tetap sama. Hanya ibuku yang mengatakan aku tampan yang lain
memandangku mengerikan bahkan cermin pun berkata demikian. Aku bahkan tak
berani memandang matahari apalagi memandangmu. Aku takut kau kecewa lalu meninggalkanku
dalam luka. “Maaf jika aku jadi pengecut.
Ketika hadirmu menghiasi sepi malam, jiwa ini belum jua merasa pantas.” Aku
memilih lari dan bersembunyi.
********
Pada
mata tertutup aku ingin melihat bukan jasad, bukan nama, namun hati di balik
dadamu yang setia mendengar, berbicara pada jiwa terkasih dan ini sungguh
indah.
Lagi,
anak panah kata-katamu telah menembus tepat ke jantungku. Membuatku tak berdaya
untuk terus bersembunyi. Sejauh mana kuberlari secepat itu pun kau menemukan
jejakku untuk menarikku kembali. Aku menyerah pada cinta yang kau sebarkan
lewat udara.
Lalu
aku di sini. Di suatu senja yang kita janjikan bersama. Bertemu untuk pertama
kalinya. Membutuhkan keberanian seribu orang prajurit yang rela mati di medan
perang untuk bisa berhadapan denganmu. Tak habis kuhapus gemuruh ombak dalam
dadaku saat kulihat wujudmu yang selama ini hanya tercipta dalam angan.
Kau
duduk diam di situ dan menunggu. Kepalamu yang sedikit menunduk membuat
rambutmu tergerai dari bahu. Kau terlihat teramat indah, bahkan terlalu indah
untukku. Aku jadi sedikit ragu. Keberanianku melayang pergi, ketakutanku
semakin menjadi. Seribu prajurit tak lagi mampu membunuh jiwa pengecut yang
menguasai diriku. Aku memilih menyerah sebelum berperang. “Ah, ternyata jatuh cinta bisa begitu menakutkan.”
Namun
kau masih saja duduk di situ hingga senja beranjak pergi. Setia menanti diriku
yang lebih takut patah hati dari pada mati. Kau begitu setia pada janji, pada
kita. Kau jadi semakin indah teramat indah. Jiwamu memancarkan keindahan yang
menarikku semakin dekat kepadamu. Hingga tanpa aku sadari aku telah berdiri
tepat di hadapanmu.
“Rara?
Dirimu Rara bukan?” sapaku terbata.
“Maaf,
aku telah membuatmu menunggu,” lanjutku.
Kau
sedikit tersentak dengan sapaku yang tiba-tiba. Namun kau masih saja menunduk. Tubuhmu
sedikit gemetar, sepertinya kau sama gugupnya dengan diriku. Aku jadi khawatir
kau akan berlari saat melihatku. Tiba-tiba kau berdiri, lalu mengulurkan
tanganmu.
“Hai
Faisal, aku Rara dan aku buta, tapi aku punya cinta,” sapamu tiba-tiba yang
mengejutkanku.
“Apakah
kau kecewa karena ternyata aku tidak sempurna?”
Tanyamu
membangunkanku dari keterpanaan yang membuatku sempat terpaku diam tanpa kata.
Aku tersadar, seharusnya itu jadi pertanyaan yang kutanyakan padamu juga.
Kecemasanku lalu menguap, karena kutahu kau takkan berubah. Cinta memang
telah dikirim untukku langsung dari surga.
“Ahh..Ajaib,
bagaimana Tuhan menciptakan cinta diantara kita, dua orang yang tak sempurna
untuk saling menyempurnakan satu sama lain.” jawabku sambil menggandeng
tanganmu.
“Yes
baby, coz love is blind,” ujarmu dan kita pun tertawa menyambut datangnya cinta.
Ketika kamu aku melebur menjadi
SATU dan hanya waktu yang mungkin bisa memahami apa yang sedang terjadi. Apa
yang sedang kurasa, apa yang sedang kau rasa adalah cinta yang tak bisa
dijelaskan dengan kata-kata
(AM)
Terinspirasi dari lagu Dewa-Mistikus Cinta
boleh juga...
BalasHapus