SELAMAT MENYELAMI HATI

Rebah,rapuh,terbang,apung, apa saja...

kuingin segala itu hadir dan tidak sia-sia,

seperti hadirnya kita tanpa sua.



SELAMAT MENYELAMI HATI

Kamis, 19 Januari 2012

Senja, Februari Dan Lelaki Hujanku

Senja dan hujan luluh di beranda, aku terduduk di kesunyian. Riuhnya air tak mampu selimuti kerinduan. Sinar lembut jingga malah meronakan ingatan. Senja dan hujan, antara aku dan kau, lelaki hujanku.

Kau tak menyapaku kini. Hanya bayangmu yang menari. Ada getar menyapa hati, membawa simfoni kenangan tentangmu, tentang kita, tentang masa lalu bersama airmata.

Lelaki hujanku. Lama sudah kita tak berbincang. Sejak terakhir kali di beranda. Kita menatap senja yang makin merebah pada tubuh malam. Saat itu hujan, seperti juga saat ini. Kita duduk sambil memegang gelas masing-masing. Kau dengan aroma kopi dingin, dan aku segelas susu cokelat hangat terpegang erat. Aku memang belum menyukai kopi.

Kita tertawa bersama dalam hujan. Ah, rasanya belumlah terlalu lama kehangatan itu kurasakan. Senja itu kau bercerita tentang hujan yang penuh cinta dan kenangan dalam sebuah lagu. Kau menyanyikannya dalam bahasa ibumu. Aku tak tahu judul bahkan artinya, tapi lagu itu terasa sangat merdu. Bahkan hujan menjadi musik pengiring yang sangat syahdu. Katamu, lagu itu bercerita tentang laki-laki yang jatuh cinta pada hujan, karena hujan membawa kenangan kekasihnya yang menghilang.

Aku selalu terkesima dalam setiap kata-katamu, dalam setiap cerita tentang hidupmu, masa lalumu, dan juga tanah kelahiranmu, tapi tidak lukamu. Kau selalu menyimpan airmatamu sendiri dalam puisi yang kubaca diam-diam. Aku selalu pura-pura tidak tahu tentang cintamu yang penuh luka, tentang sakit yang kau rasa.

“Berbagilah, bagikan padaku airmatamu, agar kau tak tenggelam dalam kesedihan yang sepi, berbagilah! Karena aku sayang padamu,” pintaku pelan dalam hati terdalam. Tapi kau lebih suka membuatku tertawa, membuatku lupa bahwa hidupku pun penuh luka. Kau ingin aku terus bahagia.

Ketika hujan tinggal menyisakan butiran air di temaramnya lampu taman, kau isyaratkan padaku sebuah kepergian juga kenangan yang akan kau titipkan pada hujan. “Masih adakah hujan yang tersisa di bulan Februari?” tanyamu waktu itu. Pertanyaan yang membuatku kembali bertanya, “Kenapa Februari?” Kau hanya tersenyum, dan berkata, “Jika aku pergi, jangan bersedih. Tiap hujan datang anggaplah aku yang menemuimu. Karena hujan adalah kerinduan yang tak bisa dipendam.”

Lalu aku tertawa, “Tidak ada yang akan pergi, kau tak boleh meninggalkanku. Tunggu aku dewasa, lalu aku menikah. Kita akan tua bersama!” Matamu menatapku dalam-dalam. Aku memelukmu dan kita sama-sama terdiam, menikmati sisa hujan terakhir di beranda ini berdua.

Isyaratmu makin nyata. Kau jatuh sakit, proses beberapa bulan yang menyakitkan untuk tubuhmu dan melukai hatiku. Tubuh yang biasa melindungiku, terkulai lemah tak berdaya. Dan pada akhirnya kau menyerah pada bulan Februari. Yah, Februari, seperti pertanda sisa hujan yang tak pernah terbaca olehku.

Awan begitu cerah hari itu, hujan hanya merinai di mataku. “Masih mungkinkah ada sisa hujan yang bisa kau nikmati di hari terakhirmu, sebelum kau ditidurkan dalam ranjang keabadianmu,” tanyaku dalam hati. Tapi sepertinya Tuhan berbaik hati padamu. Tubuh tanpa ruhmu dimandikan bersama air hujan yang tersisa di bulan Februari.

Kuusap tubuhmu pelan, dan berbisik di telingamu, berharap kau masih bisa mendengarkan bisikanku, “Mari bermain hujan bersama untuk terakhir kalinya, mari tertawa bersama.” Aku seperti melihatmu tersenyum, sebuah senyum bahagia. Dan tubuhku makin basah oleh hujan dari langit juga dari hatiku. Hujan mengiringi kepergianmu siang itu, seperti yang kau mau. Sejak saat itulah aku jatuh cinta pada hujan. Karena hujan akan selalu membawamu kembali ke sisiku, lewat nyanyian lelaki hujan.

Nyanyian hujan makin pelan terdengar, seiring derasnya yang makin mereda. Aku seperti melihat siluet tubuhmu di antara tarian rinai air yang begitu indah. Kali ini aku duduk sendiri bersama secangkir kopi hangat — bukan lagi susu cokelat seperti dulu. Beberapa Februari telah terlewati, hujan masih saja setia membawa kerinduanku padamu. Kureguk habis sisa kopi dalam cangkir lalu berdiri dan menyentuh rintik hujan yang tersisa dengan telapak tanganku. “Ini mungkin sisa hujan terakhir di bulan ini, kita bertemu lagi di musim hujan yang akan datang. Simpanlah rindumu pak, simpanlah untuk anakmu.”

Hujan pun berhenti bersama datangnya malam. Dan kulihat rembulan sudah tersenyum. Kudekap tangan basahku seakan mendekapmu. Buatku, kita tak pernah berpisah karena kau hidup dalam hatiku.

“Aku menyayangimu, lelaki hujanku.”

 (AM)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar